Minggu, 05 Oktober 2014

Tantangan bagi Perencana Kota di Era Globalisasi

Era globalisasi yang melanda perkotaan sudah kita nikmati hikmahnya dan telah kita telah kita tanggung keburukannya. Semakin lama semakin gawat dan rumit. Richard Rogers, seorang arsitek-perencana kota terkenal dari Inggris bahkan pernah mengatakan: “Cities are undermining the world’s ecosystem.... they are becoming socially diversive and environmentally hazardous.” Padahal pada abad ke-21 ini sudah dicanangkan sebagai abad perkotaan, karena lebih dari setengah penduduk dunia akan berada di perkotaan. Kota-kota kecil akan berubah menjadi kota sedang, kota-kota sedang akan berubah menjadi kota besar, kemudian kota-kota besar akan berkembang menjadi kota raya (metropolis), selanjutnya menjadi kota dunia (ecumenopolis), dan bila tidak adanya perencanaan yang baik bukan tidak mungkin akan berubah menjadi kota mayat (necropolis).

Tudingan Ricahrd Rogers mungkin memang ada benarnya, pernyataannya tidak terlalu mengada-ada. Namun manusia sebagai satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang diberkahi dengan akal dan budi, pastilah akan mampu pula mencari alternatif jalan keluar agar tidak terjadi kerusakan kota-kota di Indonesia.

Para perencana kota sebagai golongan profesional yang sedikit banyak ikut bertanggung jawab dalam proses terjadinya kerusakan kota, hendaknya merenung, melakukan introspeksi, untuk kemudian meningkatkan profesionalisme masing-masing. Yang diharapkan tidak sekedar pemikiran, melainkan juga kesadaran batin, intuisi, insting, dan bahkan juga mimpi-mimpi indah mereka tentang kota masa depan yang didambakan.

Dunia yang semakin mengota dan kota yang semakin mendunia membawa serta aneka tantangan yang harus dihadapi oleh para perencana kota. Tantangan yang paling berat adalah menyangkut tarik-ulur pertentangan adu kuat antara sektor formal dengan sektor informal, atau dilihat dari segi tata ruang secara fisik, spasial dan visual, sudah dapat dilihat dengan jelas sekarang betapa tidak teraturnya dan macetnya lalu lintas kota-kota besar di Indonesia.

Perkembangan kota yang melebar seolah tanpa batas (urban sprawl) semakin memperparah kondisi jaringan jalan yang saat ini saja sudah kelebihan beban. Disamping itu, terjadi pula masalah lain seperti pencemaran udara, pencemaran air, dan kerusakan lahan. Jika tidak dibenahi, keinginan untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan (sustainable cities) pasti akan sulit menjadi kenyataan.

Kota masa depan dalam era globalisasi diharapkan akan mampu berfungsi sebagai mesin penggerak ekonomi dan sekaligus menjadi tempat yang nyaman bagi kehidupan manusia. Kota masa depan yang ramah lingkungan dan berwajah kemanusiaan itulah yang akan menjadi surga kehidupan di dunia nyata.   




                                                                                                                                          Sumber: Budihardjo, Eko. (2014). Reformasi Kota. Semarang: Kompas.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar