Era globalisasi yang melanda perkotaan sudah kita nikmati
hikmahnya dan telah kita telah kita tanggung keburukannya. Semakin lama semakin
gawat dan rumit. Richard Rogers, seorang arsitek-perencana kota terkenal dari
Inggris bahkan pernah mengatakan: “Cities are undermining the world’s
ecosystem.... they are becoming socially diversive and environmentally
hazardous.” Padahal pada abad ke-21 ini sudah dicanangkan sebagai abad
perkotaan, karena lebih dari setengah penduduk dunia akan berada di perkotaan.
Kota-kota kecil akan berubah menjadi kota sedang, kota-kota sedang akan berubah
menjadi kota besar, kemudian kota-kota besar akan berkembang menjadi kota raya
(metropolis), selanjutnya menjadi kota dunia (ecumenopolis), dan bila tidak
adanya perencanaan yang baik bukan tidak mungkin akan berubah menjadi kota
mayat (necropolis).
Tudingan Ricahrd Rogers mungkin memang ada benarnya,
pernyataannya tidak terlalu mengada-ada. Namun manusia sebagai satu-satunya
makhluk ciptaan Tuhan yang diberkahi dengan akal dan budi, pastilah akan mampu
pula mencari alternatif jalan keluar agar tidak terjadi kerusakan kota-kota di
Indonesia.
Para perencana kota sebagai golongan profesional yang
sedikit banyak ikut bertanggung jawab dalam proses terjadinya kerusakan kota,
hendaknya merenung, melakukan introspeksi, untuk kemudian meningkatkan
profesionalisme masing-masing. Yang diharapkan tidak sekedar pemikiran,
melainkan juga kesadaran batin, intuisi, insting, dan bahkan juga mimpi-mimpi
indah mereka tentang kota masa depan yang didambakan.
Dunia yang semakin mengota dan kota yang semakin mendunia
membawa serta aneka tantangan yang harus dihadapi oleh para perencana kota.
Tantangan yang paling berat adalah menyangkut tarik-ulur pertentangan adu kuat
antara sektor formal dengan sektor informal, atau dilihat dari segi tata ruang
secara fisik, spasial dan visual, sudah dapat dilihat dengan jelas sekarang
betapa tidak teraturnya dan macetnya lalu lintas kota-kota besar di Indonesia.
Perkembangan kota yang melebar seolah tanpa batas (urban
sprawl) semakin memperparah kondisi jaringan jalan yang saat ini saja sudah
kelebihan beban. Disamping itu, terjadi pula masalah lain seperti pencemaran
udara, pencemaran air, dan kerusakan lahan. Jika tidak dibenahi, keinginan
untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan (sustainable cities) pasti akan sulit
menjadi kenyataan.
Kota masa depan dalam era globalisasi diharapkan akan mampu
berfungsi sebagai mesin penggerak ekonomi dan sekaligus menjadi tempat yang
nyaman bagi kehidupan manusia. Kota masa depan yang ramah lingkungan dan
berwajah kemanusiaan itulah yang akan menjadi surga kehidupan di dunia nyata.
Sumber:
Budihardjo, Eko. (2014). Reformasi Kota.
Semarang: Kompas.